Featured Post

Upaya Angkat Olahan Bandeng Jelak Menjadi Komoditi Unggulan Kota Pasuruan. Oleh: Mulyo Prabowo

Gambar
Poklasar Jelak Joyo Food menunjukan salah satu kreasi olahan bandeng jelak. Pasuruan-PaslineNews  Nama bandeng jelak sudah tidak asing ditelinga masyarakat Pasuruan. Jenis ikan bersisik keperakan hasil budidaya petambak di Pedukuhan Jelak, Kelurahan Blandongan, Kecamatan Bugul Kidul, Kota Pasuruan  itu sangat disukai karena rasa dagingnya lebih gurih, lembut dan tidak bau tanah. Ketua Kelompok Pengelola dan Pemasaran (Poklasar) produk olahan bandeng  Jelak Joyo Food (JJF), Nurhayati mengatakan, bandeng jelak memang sedikit berbeda dibanding ikan bandeng dari daerah lain. Selain rasanya lebih gurih dan tidak bau tanah, perbedaan itu terlihat dari bentuk fisiknya. Bandeng jelak memiliki ukuran sedikit lebih kecil tapi berisi. Rata-rata perkilonya berisi empat ekor, atau sekitar 2,5 ons per ekornya dalam kondisi segar.  Ciri lainnya, bandeng jelak bibirnya berwarna merah. Sehingga banyak orang menyebutnya dengan si bibir merah, atau ikan bergincu. "Itu ciri fisik khas bandeng jelak y

Menata PKL Akun-Alun Kota Pasuruan Dengan Menciptakan Destinasi Wisata Kuliner. Oleh : Mulyo Prabowo

 

Jalan W.Supratman, Kawasan timur Alun-alun Kota Pasuruan.


Pasutuan-PaslineNews

Wajah kota Pasuruan yang sudah diface-off memang tampak lebih elok. Apalagi wajah alun-alun Kota Pasuruan yang sudah dihias dengan payung Madinah semakin cantik bak wajah juara putri kecantikan. Akan tetapi sinar kecantikannya hanya bercahaya ketika waktu siang hari. Begitu masuk waktu senja, wajah sang putri semakin suram. Semakin malam aura cantiknya tidak nampak lagi.


Kecantikannya tertutupi oleh hiruk pikuk pedagang kaki lima (PKL) yang setiap malam menjajakan bermacam kuliner berderet  di tepi trotoar alun-alun. Selain menganggu keindahan alun-alun, keberadaan PKL juga mempersempit badan jalan  yang ikut menyumbang keruwetan lalu-lintas.


Pemerintah yang juga ingin mengangkat kuliner untuk mendukung wisata religi makam ulama besar KH. Abdul Hamid di pemakaman masjid Jami' Al-Anwar, harus memeras otak menata PKL.


Apalagi antara masjid Jami' Al-Anwar dengan Alun-alun Kota Pasuruan sudah terkoneksi dengan berdirinya payung Madinah, sebuah ikon baru Kota Pasuruan. Tentunya memiliki nilai tambah untuk menjual wisata religi tersebut. 


Masalahnya,  bagaimana caranya menata PKL tanpa mengurangi keindahan alun-alun. Dengan kata lain, kecantikan alun-alun tetap bisa dinikmati tetapi para pedagang kuliner tetap bisa membuka lapaknya.Tidak ada cara lain bagi pemerintah,

harus  merelokasi PKL dari tepi trotoar alun-alun dan membuat titik-titik kuliner baru disekitar alun-alun.


Kita harus bercermin kepada pemerintah Kota Yogyakarta, Provinsi Yogyakarta, berhasil menata PKL Jalan Malioboro, yang sebelumnya berjualan di sepanjang trotoar Jalan Malioboro.


Pemerintah Kota Yogyakarta memiliki resep ampuh yang namanya Teras Malioboro. Sebuah tempat  berjualan bagi pedagang kuliner, penjual cinderamata, penjual batik dan sebagainya yang lokasinya masih di dalam Jalan Malioboro, ikon wisata yang sangat terkenal di Kota Yogyakarta. Hal itu di katakan oleh Kepala Dinkominfosan Pemerintah Kota Yogyakarta, Trihastono, Jumat (19/05).


Akan tetapi jurus ampuh penataan PKL model Kota Yogyakarta tersebut tidak bisa sepenuhnya diterapkan di Alun-alun Kota Pasuruan. Apalagi ikon wisatanya pun juga berbeda. 


Masalahnya, ruang kawasan  Alun-alun Kota Pasuruan sudah tidak ada lagi tempat atau bangunan yang bisa dibuat tempat untuk PKL. Itu jika pemerintah ingin alun-alun kelihatan bersih, indah sepanjang siang malam bebas dari PKL.


Yang masih mungkin adalah menempatkan PKL di Jalan W. Supratman, dulu Jalan Alun-alun Timur. Meski panjangnya hanya sekitar 100 meter, jalan itu bisa menampung seluruh PKL di alun-alun yang berjumlah sekitar 124 PKL(data: Kominfo Kota Pasuruan).


Merelokasi PKL ke Jalan W. Supratman tidak hanya sekedar memindah PKL tapi harus dengan konsep yang  cerdas. Sebisa mungkin pusat kuliner itu nantinya akan juga menjadi ikon baru Kota Pasuruan yang layak jual sebagai destinasi wisata kuliner bersanding dengan  destinasi wisata religi.


Untuk itu, model penataannya yang paling cocok, dibuat seperti  pusat kuliner Kia-kia (Mandarin: jalan-jalan), sebuah pusat kuliner di kawasan Pecinan, Surabaya, diawal tahun 2000-an dulu. 


Pusat kuliner ini dibuka sore hingga malam hari. Otomatis akan menutup akses masuk ke alun-alun untuk segala jenis kendaraan. Praktis hanya pejalan kaki yang boleh berlalu-lalang sesuai dengan konsepnya, jalan-jalan sambil menikmati jajanan.


Konsep 'jalan-jalan sambil jajan' ala Kia-kia Surabaya ini, harus ditata sedemikian rupa. Penataannya harus dibuat semenarik mungkin. Lapaknya ditata rapi di samping kanan kiri jalan. Disepanjang tengah jalan disediakan beberapa meja bundar dengan empat buah kursi untuk pengunjung. Tidak disediakan duduk lesehan. Biar lebih berwarna, di atas langit, dihiasi lampu warna-warni. 


Tampilan lapak atau rombong para PKL harus punya corak seni yang unik dan menarik. Mungkin pemerintah yang menyiapkan. Atau bisa juga  dilombakan khusus PKL dengan hadiah menarik untuk merangsang PKL.


Kawasan tersebut harus kelihatan indah, bersih dan nyaman. Kalau perlu dibuatkan gapura masuk yang khas Timur Tengah. Begitu juga dengan ornamen-ornamennya, pernak-perniknya dibuat  khas Timur Tengah. 


Agar lebih menarik, nama  pusat kuliner ini harus unik. Mungkin  bisa disesuaikan dengan ikon payung Madinah dengan menggunakan bahasa Arab Poncol-an. Misal saja diberi nama Yamsi-yamsi yang maksudnya adalah jalan-jalan.


Untuk menarik pengunjung, perlu kolaborasi dengan seniman lokal. Biar suasana  lebih semarak disediakan panggung hiburan untuk seniman lokal. Tidak perlu besar tapi representatif. Seniman dan  musisi lokal bisa ngamen di tempat tersebut.


Karena panjang Jalan W. Supratman  hanya sekitar 100 meter, bisa dibilang relatif pendek. Maka perlu dipikirkan alternatif yang lain. Pilihan kedua adalah menempatkan PKL di Jalan Wiroguno sebelah selatan alun-alun.  


Jalan Wiroguno ini lebih panjang dibanding Jalan Alun-alun Timur. Melingkar hingga ke jalan Diponegoro. Akan tetapi lebar jalan lebih sempit. 

Kurang pas agaknya jika dibuat konsep seperti Kia-kia ala Surabaya.


Model yang cocok mungkin dengan konsep blok. Satu blok berisi pedagang kuliner yang berbeda menunya. Misal, satu blok ada yang jual bakso, soto nasi goreng, sate, minuman kopi, wedang ronde dan sebagainya. 


Di antara blok-blok kuliner itu disediakan beberapa  meja dan kursi. Jadi, penataannya terpisah antara blok satu dengan blok yang lainnya, terpisahkan oleh  sederetan meja dan kursi untuk pengunjung. Begitu seterusnya. 


Perlu sentuhan seni  untuk menjadikan daya tarik. Seperti gapura pintu masuk, harus dihiasi dengan ornamen sesuai dengan  moto Pasuruan Kota Madinah. Agar lebih hidup di atas jalan dihiasi dengan lampu warna-warni. 


Kolaborasi dengan seniman lokal juga tetap harus dijalin. Dengan aksi seni para seniman lokal ini, akan membuat kawasan kuliner semakin hidup dan di minati pengunjung.


Dengan konsep blok, deretan pedagang kuliner hanya menempati satu sisi jalan Wiroguno yakni di sisi barat. Jadi tidak perlu ada penutupan jalan. Sebab, di area itu terdapat perkampungan penduduk yang membutuhkan akses keluar masuk kendaraan roda dua.


Alternatif ke tiga. Kedua pusat kuliner tersebut difungsikan bersama. Di Jalan W.Supratman dengan model Kia-kia dan di Jalan Wiroguno dengan konsep blok. Pengunjung semakin banyak pilihannya untuk menikmati kuliner di kota Madinah ini. 


Setelah konsep penataan PKL tersebut  ditindak lanjuti, yang menjadi persoalan, memindahkan PKL  dari Alun-alun Kota Pasuruan menuju titik kuliner baru itu, jelas tidak mudah. Yang pasti akan ada penolakan. 


Belajar dari pemerintah Kota Yogyakarta yang sukses memindahkan PKL Jalan Malioboro untuk direlokasi ke Teras Malioboro, memang butuh waktu lama, sekitar lima tahun. Intinya ada pada komunikasi (Dinkominfosan Kota Yogyakarta).


Mungkin saja di Kota Pasuruan tidak butuh waktu selama itu. Asalkan, konsep-konsep tersebut harus disosialisasikan kepada PKL dengan sangat jelas dan gamblang terkait potensi dan perkembangannya.


Pemerintah juga bisa memberi rangsangan dengan  iming-iming  tidak akan menarik restribusi selama setahun. 


Menata PKL di Alun-alun Kota Pasuruan memang tidak mudah dan penuh tantangan. Dihadapkan pada sebuah fakta bahwa terbatasnya lahan tapi memacu  keinginan untuk mewujudkan Alun-alun Kota Pasuruan menjadi indah, bersih dan aman. Sehingga pemerintah bersama masyarakat harus cerdas mencari solusi terbaik demi masyarakat Kota Pasuruan.


Mudah-mudahan segala ide dan gagasan ini bisa bermanfaat untuk perkembangan dan penataan Kota Pasuruan dan Alun-alun pada khususnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anggur Wirogunan Andalan Pertanian Kota Pasuruan

Porprov Jatim VIII /2023, Kontingen Kota Pasuruan Tanpa Pencak Silat

Daftarkan 30 Bakal Calegnya, Partai Gerindra Bertekad Menang di Kota Pasuruan